TENTANG SHALAT JUM’AT
1.
Hukum Dan Pensyariatannya
Shalat Jumat hukumnya
fardu ‘ain bagi setiap orang islam laki-laki, hal ini telah menjadi ijma’
(kesepakatan) tanpa ada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Dan dalil pensyariatannya
termaktub di dalam Al-Quran dan As-sunnah
an-Nabawiyah, sehingga pengingkaran atas syariat wajib jum’at adalah kekafiran.[1]
Hanya Ibnu
Rusyd menyebutkan adanya beberapa pendapat yang berlainan dalam kitabnya,[2]
tetapi hal ini telah dibantah oleh para ulama, dan ulama telah menetapkan tidaklah
mengingkari wajibnya jum’at kecuali ahlu bid’ah dan pengikut hawa nafsu.[3]
Berikut ini
dalil-dalil hukum fardhu ‘ain shalat jum’at bagi laki-laki :
A. Al-Quran
Perintah
wajibnya shalat jum’at termaktub dalam ayat :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum`at, maka
bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” ( Al-Jumu`ah : 9)
B. Sunnah
Diantara
hadits-hadits yang menerangkan pensyariatan shalat jum’at adalah :
1.
Dari Abi
Al-Ja`d Adh-dhamiri ra. berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda,
مَنْ تَرَكَ َثلاَثَ جُمَعٍ
تَهَاوُنًا طبَعَ الله عَلىَ قَلْبِهِ
"Orang
yang meninggalkan 3 kali shalat Jumat karena lalai, Allah akan menutup
hatinya." (HR. Abu Daud)
2.
Dari Thariq bin
Syihab radhiyallahu `anhu bahwa Rasulullah Saw bersabda :
"Shalat
Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali atas 4
orang, (yaitu) Budak, Wanita, Anak kecil dan Orang sakit." (HR. Abu Daud)
3.
Dari Ibnu Umar
dan Abu Hurairah radhiyallahu `anhuma, bahwa mereka mendengar Rasulullah
Saw bersabda di atas mimbar :
لَيَنتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ
وَدْعِهِمُ الجُمُعَةَ أَوْ لَيَخْتَمَنَّ الله عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ
لَيَكُوْنَنَّ مِنَ الغَافِلِيْنَ
“Hendaklah
orang-orang berhenti dari meninggalkan shalat Jumat atau Allah akan menutup
hati mereka dari hidayah sehingga mereka menjadi orang-orang yang lalai." (HR. Muslim)
Berdasarkan hadits-hadits diatas, para ulama
menghukumi orang-orang yang meninggalkan kewajiban shalat jum’at sebagai pelaku
dosa besar dan termasuk kekufuran.[4]
2.
Yang Di Wajibkan Shalat Jum’at Atasnya
Kewajiban shalat jumat adalah fardhu a’in, artinya berlaku untuk seluruh
kaum mulimin, dengan kriteria sebagai berikut :
- Laki-laki, sedangkan wanita tidak diwajibkan untuk shalat jumat namun bila dia mengerjakan, maka kewajiban shalat zuhurnya telah gugur (tidak perlu shalat zhuhur lagi).
- Dalam keadaan sehat, sedangkan orang sakit tidak wajib shalat jumat.
- Dewasa yaitu baligh, sedang anak-anak tidak wajib shalat jumat.
- Muqimin yaitu orang yang menetap bukan musafir atau yang sedang dalam perjalanan.
- Merdeka bukan hamba sahaya.
Dengan
demikian, shalat jum’at itu tidak wajib bagi kaum Wanita, anak-anak, orang
sakit, musafir dan budak. (Al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyyah, 27/198)
3.
Syarat shahnya shalat jum’at
Shalat jum’at
memiliki syarat sebagaimana syarat shalat pada umumnya. Hanya kemudian ada
syarat tambahan, yang mana masing-masing mazhab berbeda pendapat, menurut
syafi’i dan Hanbali ada 7 tambahan, Maliki menambahkan 5 syarat lagi selain
syarat shalat, sedangkan Hanafi hanya menambahkan 4 syarat. Berikut rinciannya
:
A. Dikerjakan pada waktu Dzuhur
Jumhur ulama
mazhab berpendapat bahwa shalat jum’at hanya sah bila dikerjakan pada waktu Dzuhur
dan tidak sah dikerjakan pada waktu lainnya.
Hal ini berdasarkan hadits riwayat sahabat
Anas ra. Ia berkata, “Rasulullah Saw biasa shalat Jum’at setelah matahari
condong.” (HR. Bukhari)
Pendapat inilah
yang diikuti mayoritas ulama, tidak ada yang menyelisihi kecuali sebagian
pengikut mazhab Hanbali.[5]
Menurut imam
Ahmad, bahwa shalat jum’at boleh dikerjakan pada waktu matahari tergelincir,
tetapi awal waktunya adalah waktu bolehnya dilaksanakan shalat ‘id. Pendapat
ini disesuaikan dengan perkataan Abdullah bin saidan.[6]
B. Diawali Khutbah Jum’at
Ulama
bersepakat bahwa shalat jum’at harus didahului oleh khutbah jum’at, shalat
jum’at tidak shah tanpanya.[7] Hal
ini didasarkan pada firman Allah Swt
: “Maka bersegeralah kamu
mengingat Allah.” (Al Jumu’ah:9)
Makna ‘mengingat’
pada ayat diatas adalah khutbah, karena Nabi Saw tidak pernah mengerjakan
shalat jum’at kecuali berkhutbah sebelumnya.
C. Berjama’ah
Ulama telah bersepakat, bahwa shalat jum’at wajib dikerjakan secara
berjama’ah.[8]
Tidak ada perbedaan pandangan dalam hal ini, namun, mereka berbeda pendapat
tentang batas minimal jumlah jama’ah yang menghadirinya, berikut ini pendapat ulama
mazhab mengenai hal ini :
A.
Al-Hanafiyah
Pendapat yang
paling shahih dari mazhab ini mengatakan bahwa jum’at sudah mencukupi
dikerjakan dengan tiga orang selain imam.[9]
Dalil yang
digunakan yaitu bahwa tidak ada nash dalam Al-Quran Al-Karim yang mengharuskan
jumlah tertentu, tetapi hanya diisyaratkan dalam bentuk jama’. Dan dalam kaidah
bahasa arab, jumlah minimal untuk bisa disebut jama’ adalah tiga orang, bahkan
dua orang (isim tasniyah) sudah masuk kategori jama’.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum`at, maka
bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.
Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu`ah : 9)
Kata kalian
pada ayat diatas menurut mazhab hanafi tidak menunjukkan pada jumlah tertentu, tetapi hanya bermakna jama’.[10]
B.
Al-Malikiyah
Al-Malikiyah
menyaratkan bahwa sebuah shalat jumat itu baru sah bila dilakukan oleh minimal
12 orang untuk shalat dan khutbah.[11]
Pendapat ini
didasarkan pada riwayat yang disebutkan dalam surat Al-Jumu’ah yaitu peristiwa
bubarnya sebagian peserta shalat jumat karena datangnya rombongan kafilah
dagang yang baru pulang berniaga. Serta merta mereka meninggalkan Rasulullah Saw
yang saat itu sedang berkhutbah sehingga yang tersisa hanya tinggal 12 orang
saja.
وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ
لَهْوًا انفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ
مِّنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Dan apabila
mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya
dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri. Katakanlah: `Apa yang di sisi Allah
lebih baik daripada permainan dan perniagaan`, dan Allah Sebaik-baik Pemberi
rezki.” ( Al-Jumu`ah : 11)
Oleh kalangan
Al-Malikiyah, tersisanya 12 orang yang masih tetap berada dalam shaf shalat
Jum`at itu itu dianggap sebagai syarat minimal jumlah peserta shalat Jumat.
C.
Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah
Kedua mazhab
ini menyaratkan bahwa sebuah shalat jumat itu tidak sah kecuali dihadiri oleh
minimal 40 orang yang ikut shalat dan khutbah dari awal sampai akhirnya.[12]
Dalil yang
digunakan adalah sebuah hadits dari Ibnu Mas`ud ra. bahwa Rasulullah Saw shalat
Jum`at di Madinah dengan jumlah jama’ah 40 orang atau lebih. (HR.
Ad-Daruquthuny).
D.
Tidak boleh ada banyak pelaksanaan shalat jum’at disuatu daerah tanpa sebab
tertentu
Diantara syarat sahnya jumat, mazhab Syafi’i menetapkan
tidak bolehnya ada pelaksanaan shalat jum’at yang berbilang di suatu tempat, kecuali
jika daerah itu sangat besar dan sulit untuk mengumpulkan jamaah di satu tempat.
Adapun dalil dari syarat ini, yaitu Rasulullah
SAW, para sahabat, Khulafa Rasyidin, dan para tabi’in tidak pernah melakukan
shalat jumat kecuali satu shalat jumat saja dalam satu daerah. Karena, dengan
membatasi pada satu pelaksanaan saja diperkirakan akan mencapai tujuan utama,
yaitu menampakan simbol-simbol persatuan dan persamaan opini. Demikian pula hal
yang sama ditetapkan oleh kalangan mazhab Hanbali[13]
Demikian pula dengan mazhab Maliki, mereka
menetapkan, bila shalat jumat dikerjakan berbilang, maka masjid yang
mengerjakan shalat jumat yang pertama itulah yang sah, sedangkan yang lain
diwajibkan shalat dzuhur bagi semua jamaah.
Intinya, pendapat mayoritas ulama (mahab Maliki
yang termasyhur, lalu mazhab Syafi’i dan Hambali), melarang pelaksanaan shalat
jumat secara berbilang kecuali kedaruratan.
Adapun mazhab Hanafi, memiliki pendapat dan
fatwanya sendiri mereka mengatakan, boleh melaksanakan shalat jumat lebih dari
satu shalat jumat dalam sebuah kota dibeberapa tempat untuk menghindari kesulitan
yang terjadi. Karena, dengan mengharuskan shalat jumat bersatu disatu tempat
jelas akan menyulitkan, disebabkan jauhnya jarak bagi sebagian besar jamaahnya.
Kemudian tidak ditemukan dalil-dalil yang melarang untuk membagi-bagi
pelaksanaan shalat jumat dan tidak pula disebutkan kondisi yang mendesak atau
alasan kebutuhan yang dapat mencegah terjadinya pelaksanaan salat jumat secara
berbilang, apalagi dikota-kota besar.[14]
Berkata Imam
Ibnu Qudamah rahimahullah, “Kesimpulannya, suatu daerah/ kota yang
sangat luas, jika menyulitkan penduduknya untuk berkumpul di satu masjid, dan
itu boleh jadi karena berjauhannya tempat tinggal mereka atau sempitnya masjid
(yang ada) –seperti di Baghdad, Ashbahan, dan kota lain yang luas– maka boleh
shalat Jumat didirikan di beberapa masjid kalau dibutuhkan.”[15]
Al-Lajnah Ad-Daimah pernah ditanya tentang masalah
ini, kemudian Al-Lajnah menjawab : “Apabila keadaannya lokasi yang jauh, maka
tidak berkewajiban shalat jum’at, dan kewajibannya hanyalah shalat dhuhur, akan
tetapi yang lebih baik adalah berusaha mencari pekerjaan yang dekat dengan
bangunan-bangunan supaya dekat dengan masjid, dan bisa menunaikan shalat jumat
dan jama’ah bersama kaum muslimin di masjid-masjid, mendengarkan
nasehat-nasehat, serta mempelajari perkara-perkara agama yang kamu butuhkan.”[16]
Dalam pandangan ulama kontemporer, diantaranya
Syaikh Wahbah Zuhaili, Yusuf al Qaradhawi, dan sebagian besar ulama Azhar,
pendapat terakhir dari Hanafi inilah yang dipandang paling kuat.
E.
Izin
Penguasa
Mazhab Hanafi mensyaratkan bahwa shalat jum’at
yang ditegakkan disuatu tempat harus atas izin penguasa. Hal ini karena
pelaksanaan shalat jumat itu dihadiri kaum muslimin dalam jumlah besar, yang
mana masing-masing tentu memiliki pendapat-pendapat yang saling berbeda satu
sama lain, dan hal ini hanya bisa disatukan dengan adanya keputusan penguasa.
Tetapi Jumhur ulama mazhab menolak pendapat ini,
karena dalam riwayat telah jelas disebutkan, Ali bin Abi Thalib ra. Pernah mengimami shalat sedangkan khalifah
Utsman bin Affan ketika itu masih ada (dalam kondisi terkepung).[17]
Dan hal tersebut dibenarkan oleh sayidina Utsman.[18]
F.
Perkampungan
Pendapat mazhab
Hanafi, juga pendapat Atha’, Ibnul Mubarak, dan lainnya, menyatakan boleh didirikan shalat Jumat lebih dari satu
masjid walaupun dalam satu daerah/ kota, jika memang dibutuhkan, seperti karena
luasnya daerah tersebut (sehingga manusia kesulitan menghadiri shalat Jumat di
satu tempat), jauhnya masjid dari rumah-rumah mereka, sempitnya masjid, atau
takut fitnah. [19]
Sedangkan menurut Maliki, shalat jum’at tetap
wajib atas penduduk dusun, dan dikerjakan di masjid jami’ tempat tersebut.
Namun, tidak boleh dikerjakan ditengah penduduk yang bangunan rumahnya dari
kain, karena kemungkinan penduduknya suka melakukan perjalanan.
Sedangkan mazhab syafi’i menetapkan masyarakat
dusun tetap wajib jum’at sedangkan masyarakat yang berada di padang pasir
(tempat kerja) meskipun memiliki bangunan dari kayu, tiada kewajiban jum’at.
Pendapat yang serupa juga di tetapkan oleh Hanabilah.
Intinya, shalat jumat menurut mayoritas ulama
harus ditegakkan di kota atau sebuah kampung.[20]